Oleh:
Dewi Ratih Megawati
Architect in HouseRelawan Pengajar
Rombel 11: SD Sekarwangi 2 | Kec. Rawamerta | Kab. Karawang
11 April 2016



Saya menyelesaikan jenjang S2 di Korea dalam program Housing & Interior, dan saya menemukan bermacam tipe manusia di sana. Di Seoul saya aktif berorganisasi dan menjalankan hobi tari saya (sekaligus misi budaya di Korea). Tujuan saya mengikuti Kelas Inspirasi adalah mencari dan aktif berkegiatan dalam komunitas orang-orang dengan berbagai profesi luar biasa, juga merasakan empati yang dalam akan negara kita, Indonesia. Saya ingin bergabung di sebuah komunitas karena pada dasarnya saya sangat suka menjadi bagian dari sebuah kelompok. Saya mengikuti Kelas Inspirasi dengan ambisi pribadi untuk mencoret salah satu poin di bucket list dan juga untuk self-healing, setelah proses kehidupan yang menurut perspektif saya cukup menyakitkan dan menguras energi. Bagaimanapun social activity dan volunteer selalu menjadi passion yang saya jalankan dengan inkonsisten. Setelah 7 bulan bekerja selepas kelulusan dari Korea, saya memberanikan diri untuk mendaftar Kelas Inspirasi Karawang (setelah melihat pengalaman alumnus korea lainnya yang juga sudah aktif di Kelas Inspirasi). Saya tergabung dalam kelompok 11, SDN Sekarwangi 2 Kecamatan Rawamerta dengan 1 orang fasilitator, 1 orang dokumentator dan 5 orang inspirator lainnya.


Diterima dan mulai menjalani persiapan Kelas Inspirasi, saya makin memahami bahwa Kelas Inspirasi adalah wadah. Bagaimana proses dan hasil dari Kelas Inspirasi amat tergantung dari inisiatif dan kerja keras dari inspirator dan fasilitator kelompok masing-masing. Dari survey yang dilakukan oleh fasilitator Kang Andi, saya melihat betapa memprihatinkannya keadaan SD ini. Hanya ada 2 kelas untuk sekitar 120 orang siswa. Proses belajar dan mengajar harus dilakukan dalam dua gelombang. Proses belajar kelas I-III dijalankan sampai pukul  10.00 dan kelas IV-VI belajar jam 10.00-12.00. Yang sangat membuat hati saya terenyuh adalah kelas I-II dan kelas V-VI yang merupakan kelompok anak yang sebenarnya sangat butuh ruang kelas yang kondusif. Tetapi kenyataannya mereka harus masing-masing berbagi ruangan dalam satu kelas yang tersekat triplek yang masih sangat terbuka. Dengan keadaan ruang kelas yang sangat terbuka seperti ini, suara gaduh di kelas sebelah akan mudahnya terdengar dari kelas yang lain. Keempat kelas ini harus berbagi kelas dikarenakan jumlah siswanya yang sedikit bila dibanding kelas lainnya. Kelas VI yang seharusnya fokus untuk persiapan UAN nyatanya diharuskan berserah dengan keadaan kondisi kelas yang kurang mendukung aktifitas belajar mengajar. 
Rata-rata orang tua murid dari siswa SD ini adalah buruh tani di Rawamerta. Jika anak mereka bisa berhasil masuk ke jenjang SMP, hal tersebut sudah menjadi poin yang membanggakan dalam perspektif penduduk Rawamerta. Cita-cita terbanyak yang disebutkan oleh para siswa adalah dokter, tentara dan guru. Saya mendapatkan kelas I, IV dan VI untuk berbagi cerita mengenai profesi saya sebagai arsitek. Untuk kelas I saya mengajak adik-adik ini untuk menggambarkan rumah impian mereka. Dengan tujuan untuk mengajarkan bahwa arsitek itu perlu memiliki imajinasi yang luas, saya menggambarkan berbagai contoh rumah di papan tulis. Lalu anak-anak dibriefing bahwa rumah bisa saja berbentuk bulat, kotak atau segitiga, dan bisa dimanapun juga seperti di darat, gunung atau laut. Dari kelas ini saya belajar bahwa anak usia 5-7 tahun masih sangat menyerap mentah-mentah apa yang mereka lihat. Kebanyakan dari anak kelas I mengikuti dengan presisi apa yang saya gambar di papan tulis. Selanjutnya untuk kelas IV aktifitas yang diselenggarakan adalah simulasi interaksi antara arsitek dan klien dalam proses renovasi kelas. Kelas dibagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok arsitek diwajibkan untuk mengukur kelas dengan meteran dan mencatat hasilnya di selembar kertas. Kelompok klien harus mengutarakan keinginannya mengenai detail warna cat, lampu, meja dan layout. Kelas IV menurut saya sangat antusias dan kreatif. Kata-kata kunci seperti mewah, terang, dan warna biru keluar dari benak mereka. Kelas terakhir yaitu kelas VI yang siswanya cukup antusias dan berwawasan. Mereka sudah mengerti apa itu profesi arsitek. Tugas saya hanyalah menjelaskan lebih lanjut siapa arsitek berpengaruh di Indonesia dan dunia. Dan juga fungsi arsitek tidak hanya menbangun rumah tapi juga tipologi lainnya.
Di akhir penutupan Kelas Inspirasi Karawang, saya makin menyadari bahwa bukan sayalah pusat dunia ini. I am not the Center of the World. Saya termasuk kelompok kecil orang yang beruntung di Indonesia bisa berkesempatan berbagi ilmu dan inspirasi ke siswa-siswa SD di pelosok. Keadaan fisik dan sistem sekolah yang belum ideal seperti siswa SDN Sekarwangi 2, Rawamerta,  Karawang masih banyak terjadi di kota-kota lain, bahkan di dalam kota DKI Jakarta sendiri. Semoga ke depannya saya masih bisa berkontribusi di Kelas Inspirasi atau program sejenis lainnya.